SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI
BANTEN
SEJARAH ISLAM MASUK KE BANTEN - SEBELUM ISLAM
BERKEMBANG DI BANTEN
Sekitar permulaan abad ke 16, di daerah pesisir
Banten sudah ada sekelompok masyarakat yang menganut agama Islam.
Penyebarannya dilakukan oleh salah seorang pemimpin
Islam yang dikenal sebagai wali berasal dari Cirebon yakni Sunan Gunung Jati
dan kemudian dilanjutkan oleh putranya Maulana Hasanudidin untuk menyebarkan
secara perlahan-lahan ajaran agama Islam daerah Banten.
Banten adalah salah satu pusat perkembangan
Islam, karena Banten mempunyai peranan penting dalam tumbuh dan
berkembangnya Islam, khususnya di daerah Jakarta dan Jawa Barat. Dikarenakan
letak geografisnya yang sangat strategis sebagai kota pelabuhan. Di Banten
telah berdiri satu kerajaan Islam yang lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan
sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten.
KEADAAN BANTEN PRA ISLAM
Daerah Banten memiliki beberapa data
arkeologi dan sejarah dari masa sebelum Islam masuk ke daerah ini, sumber data
arkeologi menujukan bahwa sebelum Islam masyarakat Banten hidup pada masa
tradisi prasejarah dan tradisi Hindu-Buddha.
Pada
awal abad ke XVI, di Banten yang berkuasa adalah Prabu Pucuk Umun, dengan pusat
pemerintahan Kadipaten di Banten Girang sedangkan Banten Lama hanyalah
berfungsi sebagai pelabuhan saja. Untuk menghubungkan antara Banten Girang
dengan pelabuhan Banten, dipakai jalur sungai Cibanten yang pada waktu itu
masih dapat dilayari. Tapi disamping itu pula masih ada jalan darat yang dapat
dilalui yaitu melalui jalan Kelapa Dua.
SEJARAH PERKEMBANGAN
ISLAM DI BANTEN
Sultan Maulana
Hasanuddin sangatlah berpengaruh dalam penyebaran Islam di Banten, karna beliau
adalah seorang Sultan yg pertama kali menjadi penguasa di kerajaan Islam di
Banten, beliau mendirikan Kesultanan Banten, bahkan beliau mendapatkan
gelar Pangeran Sabakingking atau Seda Kikin, gelar tersebut di
persembahkan dari kakeknya yaitu Prabu Surasowan pada masa itu Prabu Surasowan
menjabat menjadi Bupati di Banten.
Sultan
Maulana Hasanuddin adalah putera dari Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung
Djati) dan Nyi Kawunganten (Putri Prabu Surasowan), beliau adalah seorang
sultan yg mengerti akan ekonomi dan politik.
Prabu
Surasowan wafat, namun kini pemerintahan banten di wariskan kepada anaknya,
yakni Arya Surajaya (Prabu Pucuk Umun), di mana pada masa itu Arya Surajaya
menganut Agama Hindu, pada pemerintahan Arya Surajaya, Syarif Hidayatullah
kembali ke Cirebon atas panggilan dari kepengurusan Bupati di Cirebon,
karna Pangeran Cakrabuana wafat, Lalu Syarif Hidayatullah di angkat menjadi
Bupati di Cirebon sekaligus menjadi Susuhanan Jati. Sedangkan puteranya,
Hasanuddin memilih menjadi Guru Agama Islam di Banten, bahkan beliau di kenal
memiliki banyak Santri di wilayah Banten, lalu beliau mendapatkan gelar Syaikh
menjadi Syaikh Hasanuddin.
Meskipun
beliau menetap di Banten, namun beliau tetap menjenguk sang Ayah di Cirebon
untuk bersilahturahmi, setelah sering bersilahturahmi, beliau mendapatkan tugas
dari Ayahnya untuk meneruskan Tugas Sang Ayah yakni menyebarkan Agama Islam di
Banten.
Setiba
di Banten, Syaikh Maulana Hasanuddin melanjutkan misi dakwah ayahnya. Bersama
para santrinya, beliau berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya.
Pada
masa pemerintahan Prabu Pucuk Umun, hubungan antara Prabu Pucuk Umun dan Sultan
Maulana Hasanuddin sangatlah buruk yang tidak di pahami oleh Masyarakat, Prabu
Pucuk Umun tetap bersih Kukuh untuk mempertahankan Ajaran Sunda Wiwitan (agama
Hindu sebagai agama resmi di Pajajaran) di Banten, namun tidak sedemikian
dengan Syaikh Maulana Hasanuddin, beliau terus melanjutkan Dakwahnya dengan lancar.
Namun
pada masa itu Prabu Pucuk Umun menantang Syaikh Maulana Hasanuddin untuk
berperang, namun bukan berperang untuk duel, namun beradu Ayam, karena tidak
ingin menimbulkan banyak korban.
Prabu
Pucuk Umun memilih tempat adu kesaktian Ayam di Lereng Gunung Karang, karena di
anggap sebagai tempat yang netral, pada waktu yang di tentukan Kedua Pihak pun
beramai-ramai mendatangi lokasi, Prabu Pucuk Umun dan Syaikh Maulana Hasanuddin
tidak hanya membawa Ayam Jago saja melainkan membawa Pasukan untuk meramaikan
dan menyaksikan pertarungan tersebut, bahkan pasukan satu sama lain membawa
senjata, karena untuk menghadapi berbagai kemungkinan, Prabu Pucuk Umun membawa
Golok yang terselip di pinggangnya dan Tombak yang di genggamnya, namun Syaikh
Maulana Hasanuddin hanya membawa sebilah Keris Pusaka milik Ayahnya yakni Sunan
Gunung Djati yang di warisi kepada Syaikh Maulana Hasanuddin.
Setiba
di arena pertarungan, Prabu Pucuk Umun mengambil tempat di tepi utara arena Sebelum
pertarungan dimulai, kedua ayam jago dibawa ke tengah arena. Kedua ayam jago
tersebut masih berada di dalam kandang anyaman bambu. Ayam jago milik Prabu
Pucuk Umun telah diberi ajian otot kawat tulang besi dan di kedua
tajinya dipasangi keris berbisa. Sementara ayam milik Maulana Hasanuddin tidak
dipasangi senjata apapun, tapi tubuhnya kebal terhadap senjata tajam. Ayam itu
telah dimandikan dengan air sumur Masjid Agung Banten. Pada saat ayam itu dimandikan,
dibacakan pula ayat-ayat suci Alquran.
Konon,
ayam jago milik Maulana Hasanuddin adalah penjelmaan salah seorang pengawal
sekaligus penasehatnya yang bernama Syekh Muhammad Saleh. Ia adalah murid Sunan
Ampel dan tinggal di Gunung Santri di Bojonegara, Serang. Karena ketinggian
ilmunya dan atas kehendak Allah, ia mengubah dirinya menjadi ayam jago.
Akhirnya
pertarungan tersebut di mulai, dari kedua belah pihak saling memberikan
semangat kepada jagoannya masig-masing.
Tiba-tiba ayam jago Pucuk Umun jatuh terkulai di
tanah dan meregang nyawa. Rupanya ayam jago itu terkena tendangan keras ayam
jago Maulana Hasanuddin. Para pendukung Pucuk Umun pun menjadi bungkam,
sedangkan pendukung Syaikh Maulana Hasanuddin melompat kegirangan sambil
meneriakkan takbir.
Akhirnya,
Syaikh Maulana Hasanuddin memenangkan pertandingan adu ayam itu. Prabu Pucuk
Umun pun mengaku kalah. Ia kemudian mendekati Maulana Hasanuddin untuk memberi
ucapan selamat seraya menyerahkan golok dan tombaknya sebagai tanda pengakuan
atas kekalahannya. Penyerahan kedua senjata pusaka juga berarti penyerahan
kekuasaannya kepada Maulana Hasanuddin atas Banten Girang.
Setelah
itu, Prabu Pucuk Umun berpamitan. Ia bersama beberapa pengikutnya kemudian
mengungsi ke Banten Selatan, tepatnya di Ujung Kulon atau ujung barat Pulau
Jawa. Mereka bermukim di hulu Sungai Ciujung, di sekitar wilayah Gunung
Kendeng. Atas perintah Prabu Pucuk Umun, para pengikutnya diharapkan untuk
menjaga dan mengelola kawasan yang berhutan lebat itu. Konon, merekalah cikal
bakal orang Kanekes yang kini dikenal sebagai suku Baduy.
Sedangkan
para pengikut Prabu Pucuk Umun yang terdiri dari pendeta dan punggawa Kerajaan
Pajajaran menyatakan masuk Islam di hadapan Syaikh Maulana Hasanuddin. Dengan
demikian, semakin muluslah jalan bagi Syaikh Maulana Hasanuddin dalam
menyebarkan dakwah Islam di Banten. Atas keberhasilan tersebut, ia kemudian
diangkat oleh Sultan Demak sebagai Bupati Kadipaten Banten. Pusat pemerintahan
semula di Banten Girang dipindahkan ke Banten Lor (Surosowan) yang terletak di
pesisir utara Pulau Jawa.
Selanjutnya,
karena keberhasilannya memimpin daerah itu dengan membawa kemajuan yang pesat
di berbagai bidang, Kadipaten Banten kemudian diubah menjadi negara bagian
Demak atau Kesultanan Banten dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin
sebagai sultan pertama.
Pada tahun 1526 M Banten
Pasisir berhasil direbut oleh Panglima Fadillah Khan dan pasukannya, Hasanudin
diangkat menjadi Bupati Banten Pasisir, pada usia 48 tahun. Konon ketika
terjadi huru hara, Hasanudin dibantu oleh beberapa pasukannya dari Banten
Girang. Kelak dikemudian hari Banten Girang menggabungkan diri dengan wilayah
Banten Pesisir, sehingga praktis Hasanudin menjadi penguasa Banten Pasisir dan
Banten Girang. Hampir semua penduduk Banten beralih agama menganut Islam. Ia
bernama nobat Panembahan Hasanudin.
Untuk memperkuat posisi pemerintahannya,
Hasanudin membangun wilayah tersebut sebagai pusat pemerintahan dan
administratif. Ia pun mendirikan istana yang megah yang diberi nama Keraton
Surasowan, mengambil nama kakeknya (Surasowan) yang sangat menyayanginya. Nama
Keraton tersebut akhirnya berkembang menjadi nama kerajaan. Berita ini
diabadikan didalam prasasti tembaga berhuruf Arab yang dibuat oleh Sultan Abdul
Nazar (1671-1687), nama resmi kerajaan Islam di Banten adalah Negeri Surasowan.
Pada
tahun 1568 M Susuhunan Jati Wafat, kemudian Penembahan Hasanuddin
memproklamirkan Surasowan sebagai Negara yang merdeka, lepas dan kekuasaan
Cirebon. Panembahan Hasanuddin menikah dengan puteri Indrapura, kemudian
memperoleh putera, bernama Maulana Yusuf. Kelak Maulana Yusuf menggantikan
posisinya sebagai penguasa Banten.
Selain Maulana Yusuf, Panembahan Hasanudin
dari istrinya yang kedua, yakni Ratu Ayu Kirana (puteri sulung Raden Patah
Sultan Demak) yang juga sering disebut Ratu Mas Purnamasidi, Panembahan
Hasanudin memperoleh putera, diantaranya Ratu Winahon, kelak menjadi isteri
Tubagus Angke Bupati Jayakarta (Jakarta), dan Pangeran Arya, yang diangkat anak
oleh bibinya, Ratu Kalinyamat, kemudian ia dikenal sebagai Pangeran Jepara.
Kini
Banten telah di akui di berbagai wilayah bahkan sampai ke daerah eropa maupun
asia, banten juga sempat di sebut sebagai Amsterdam karna banten adalah pusat
perdangan terbesar, banten juga terkenal akan kebudayaannya yang mencolok
classic sangat mengundang para tamu untuk melihatnya.
Peninggalan Kesultanan Banten
Masjid Agung Banten
Masjid dengan atap bangunan yang
menyerupai pagoda ini dibangun oleh arsitek Cina bernama Tjek Ban Tjut pada
masa pemerintahan sultan pertama dari Kesultanan Banten, Sultan Maulana
Hasanuddin, putra dari Sunan Gunung Jati di tahun 1560. Di sisi utara dan selatan
masjid ini terdapat makam kuno para sultan Banten dan keluarganya. Sementara,
menara masjid yang tingginya 24 meter, terdapat di sisi timur dan menjadi
atraksi bagi para wisatawan karena keunikan bentuk bangunannya. Menara itu
dibangun oleh arsitek Belanda, Hendrik Lucasz Cardeel. Cardeel juga membangun
bangunan khusus di sisi selatan masjid yang dulu digunakan sebagai tempat
bermusyawarah dan berdiskusi.
Masjid Agung Cirebon
Masjid yang juga dikenal dengan nama
Masjid Agung Kasepuhan dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini diprakarsai
pembangunannya oleh Sunan Gunung Jati dan diarsiteki oleh Sunan Kalijaga.
Masjid ini selesai dibangun pada tahun 1480, di masa penyebaran agama Islam
oleh Wali Songo. Berlokasi di kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat,
masjid ini mempunyai keunikan berupa sembilan pintu untuk masuk ke ruangan
utama, yang melambangkan Wali Songo. Di bulan Ramadhan, sumur air Banyu Cis
Sang Cipta Rasa selalu ramai dikunjungi oleh peziarah yang meyakini air dari
sumur itu mampu mengobati berbagai penyakit. Masjid Agung Cirebon juga dikenal
dengan nama Masjid Sunan Gunung Jati.
Istana Keraton Kaibon
Istana
Kaibon adalah sebuah Istana tempat tinggal Ratu Aisyah, ibunda dari Sultan
Syaifuddin. Bentuknya hanyalah tinggal Reruntuhan saja. Disampingnya ada sebuah
Pohon besar dan sebuah Kanal. Menurut penduduk sekitar, dulunya ini adalah
sebuah Istana yang sangat megah. Namun, Pada tahun 1832, Belanda
menghancurkannya saat terjadi peperangan melawan Kerajaan Banten.
Istana Keraton Surosowan
Tidak Jauh dari Istana Keraton Kaibon, terdapat sebuah Situs
Istana Surosoan yang merupakan Kediaman para SultanBanten, dari Sultan Maulana
Hasanudin hingga Sultan Haji yang pernah berkuasa pada tahun 1672-1687, Istana
ini dibangun pada tahun 1552. Dibanding Istana Kaibon yang terlihat masih
berupa bangunan, Istana Surosoan, hanya tinggal berupa sisa-sisa bangunannya
saja. Sisa bangunan megah ini berupa Benteng yang terbuat dari batu merah dan
batu karang dengan tinggi 0,5 – 2 meter. Ditengahnya terdapat kolam persegi
empat. Konon, kolam tersebut adalah bekas pemandian para putri termasuk Rara
Denok. Dengan luas sekitar 4 hektar. Bangunan sejarah ini dihancurkan oleh
Belanda pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1680.
Danau
Tasikar
Danau
ini terletak tidak jauh dari Istana Kaibon, Konon, Danau tersebut luasnya 5
Hektar dan bagian dasarnya dilapisi oleh Batu Bata, Pada masa itu danau ini
dikenal dengan
nama "Situ Kardi"
yang memiliki sistem ganda, selain sebagai penampung air di Sungai Cibanten
yang digunakan sebagai PengairanPersawahan, danau ini juga dimanfaatkan sebagai
pasokan Air bagi keluarga Keraton dan Masyarakat sekitarnya.
Pengindelan Emas
Danau
ini terletak tidak jauh dari Istana Kaibon, Konon, Danau tersebut luasnya 5
Hektar dan bagian dasarnya dilapisi oleh Batu Bata, Pada masa itu danau ini
dikenal dengan nama "Situ Kardi" yang memiliki sistem ganda, selain
sebagai penampung air di Sungai Cibanten yang digunakan sebagai
PengairanPersawahan, danau ini juga dimanfaatkan sebagai pasokan Air bagi
keluarga Keraton dan Masyarakat sekitarnya.
SEJARAH MASUKNYA AGAMA ISLAM DI CIREBON
Kerajaan
Cirebon merupakan sebuah kerajaan bercorak Islam ternama yang berasal dari Jawa
Barat. Kesultanan Cirebon berdiri pada abad ke-15 dan 16 Masehi. Kesultanan
Cirebon juga merupakan pangkalan penting yang menghubungkan jalur perdagangan
antar pulau.
Kesultanan
Cirebon berlokasi di pantai utara pulau Jawa yang menjadi perbatasan antara
wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, ini membuat Kesultanan Cirebon menjadi
pelabuhan sekaligus “jembatan” antara 2 kebudayaan, yaitu budaya Jawa dan
Sunda. Sehingga Kesultanan Cirebon memiliki suatu kebudayaan yang khas tersendiri,
yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun
kebudayaan Sunda.
Sejarah Kerajaan Cirebon
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad
Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon mulanya
adalah sebuah dukuh kecil yang awalnya didirkan oleh Ki Gedeng Tapa, yang
lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah perkampungan ramai dan diberi nama
Caruban (Bahasa Sunda: campuran).
Dinamakan Caruban karena di sana ada percampuran para pendatang
dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, latar belakang
dan mata pencaharian yang berbeda. Mereka datang dengan tujuan ingin menetap
atau hanya berdagang.
Karena awalnya hampir sebagian besar pekerjaan masyarakat
adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan lainnya, seperti menangkap
ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai yang bisa digunakan untuk
pembuatan terasi. Lalu ada juga pembuatan petis dan garam.
Air bekas pembuatan terasi inilah akhirnya tercipta nama
“Cirebon” yang berasal dari Cai(air) dan Rebon (udang rebon) yang berkembang
menjadi Cirebon yang kita kenal sekarang ini.Karena memiliki pelabuhan yang
ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon akhirnya menjadi sebuah kota
besar yang memiliki salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa.
Pelabuhan sangat berguna dalam kegiatan pelayaran dan
perdagangan di kepulauan seluruh Nusantara maupun dengan negara lainnya. Selain
itu, Cirebon juga tumbuh menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di
Jawa Barat.
Pendirian dan Silsilah Raja Kerajaan
Cirebon
Pangeran Cakrabuana (1430 – 1479) merupakan keturunan dan
kerajaan Pajajaran. Ia adalah putera pertama dari Sri Baduga Maharaja Prabu
Siliwangi dan istri pertamanya yang bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng
Tapa). Raden Walangsungsang(pangeran Cakra Buana) meiliki dua orang saudara
kandung, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.
Sebagai anak laki-laki tertua, seharusnya ia berhak atas
tahta kerajaan Pajajaran. Namun karena ia memeluk agama Islam yang diturunkan
oleh ibunya, posisi sebagai putra mahkota akhirnya digantikan oleh adiknya,
Prabu Surawisesa (anak laki-laki dari prabu Siliwangi dan Istri keduanya yang
bernama Nyai Cantring Manikmayang).
Ini dikarenakan pada saat itu (abad 16) ajaran agama
mayoritas di Kerajaan Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang
Sunda) Hindu dan Budha. Pangeran Walangsungsang akhirnya membuat sebuah
pedukuhan di daerah Kebon Pesisir, mendirikan Kuta Kosod (susunan tembok bata
merah tanpa spasi) membuat Dalem Agung Pakungwati serta membentuk pemerintahan
di Cirebon pada tahun 1430 M.
Dengan demikian, Pangeran Walangsungsang dianggap sebagai
pendiri pertama Kesultanan Cirebon.Pangeran Walangsungsang, yang telah selesai
menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman. Ia lalu tampil
sebagai “raja” Cirebon pertama yang memerintah kerajaan dari keraton Pakungwati
dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
PENINGGALAN KESULTANAN CIREBON
Peninggalan Berupa Keraton
Kesultanan Cirebon
meninggalkan beberapa keraton yang antara lain keraton Kasepuhan Cirebon,
Keraton Kanomanan, dan Keraton Kacirebonan.
1. Keraton Kasepuhan Cirebon kini terletak di Kec. Lemah
Wungkuk, Kotamadya Cirebon. Ia merupakan pusat pemerintahan dari kesultanan
Cirebon pada masa silam. Di keraton ini akan dapat kita jumpai
bangunan-bangunan dengan gaya arsitekturnya yang unik, kereta Singa Barong, benda-benda
kuno dan naskah kuno.
2. Keraton Kanoman adalah keraton yang didirikan oleh Sultan
Anom I pada tahun 1678. Letaknya berada di 300 meter sebelah utara keraton
Kasepuhan. Keraton ini telah berdiri sejak wafatnya Panembahan Girilaya.
3. Keraton Kacirebonan adalah keraton terkecil yang dimiliki
kesultanan Cirebon. Letaknya berada di 1 km barat daya Keraton Kasepuhan. Di
dalamnya juga terdapat berbagai benda-benda bersejarah peninggalan kerajaan
Cirebon seperti keris, wayang, gamelan, dan perlengkapan perang.
Peninggalan Berupa Masjid
Selain
mewarisi peninggalan sejarah berupa keraton, Kerajaan Cirebon juga meninggalkan
beberapa bangunan masjid. Adanya bangunan-bangunan masjid kuno tersebut tentu
bisa menjadi bukti bahwa syiar Islam pada masa itu memang telah berkembang
dengan sangat pesat. Adapun beberapa masjid peninggalan kerajaan Cirebon
tersebut antara lain
1. Masjid Sang Cipta Rasa adalah masjid yang dibangun Wali
Songo pada tahun 1498 di kompleks keraton Kasepuhan. Berdasarkan cerita rakyat,
masjid ini didirikan hanya dalam waktu 1 malam saja. Subuh keesokan harinya
masjid yang hingga kini masih berdiri kokoh tersebut telah digunakan untuk
sholat berjamaah.
2. Masjid Jami Pakuncen berada di Tegal Arum, Kab. Tegal - Jawa
Tengah. Masjid ini didirikan oleh Sunan Amangkurat I sebagai tempat penting
untuk keperluan syiar Islam di tanah Cirebon pada masa itu.
Peninggalan Berupa Makam
Pemakaman muslim kuno yang kini masih terpelihara juga
merupakan peninggalan yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan
Islam di Kesultanan Cirebon. Di antara makam tersebut misalnya makam Sunan
Gunung Jati dan makam para penguasa kerajaan lainnya.
Kompleks pemakaman peninggalan Kerajaan Cirebon terletak di
Keraton Cirebon, 6 km dari pusat Kota Cirebon, Jawa Barat. Di hari Jumat,
kompleks pemakaman ini sangat ramai karena banyak orang dari berbagai daerah
datang untuk berziarah dan mengalap berkah. Selain makam Sunan Gunung Jati,
dikompleks ini juga terdapat makam Fatahillah, panglima perang Batavia. Adapun
di dalam kompleks tersebut, ada banyak benda-benda bersejarah seperti perkakas,
piring, dan logam-logam kuno yang berasal dari masa kekuasaan Dinasti Ming,
China.
Peninggalan Berupa Benda Pusaka
Kesultanan
Cirebon juga meninggalkan beberapa benda pusaka dan yang paling terkenal adalah
pusaka yang berwujud kereta, misalnya kereta Singa barong atau kereta Paksi
Naga Liman. Kereta ini adalah kereta kuno yang berasal dari tahun 1549 buatan
cucu Sunan Gunung Jati yang bernama Panembahan Losari.
Kereta ini memiliki bentuk yang sangat unik dan penuh filosofi. Pada
kereta ini terukir pahatan belalai gajah, kepala naga, dan buroq. Gajah
melambangkan persahabatan Cirebon dan India, naga melambangkan persahabatan
Cirebon dan China, sedangkan buroq melambangkan persahabatan Cirebon dan Mesir.
Perlu diketahui bahwa keunikan kereta ini juga terletak pada bagian sayapnya
yang dapat otomatos mengepak ketika kereta tengah berjalan.